Mengantongi Mushaf di Kamar Mandi

Januari 15, 2009

P23-10-08_11.48 Ustadz, saya ingin menanyakan beberapa hal: (1). bagaimana hukumnya membawa mushaf atau kitab-kitab bacaan yang diletakkan dalam saku baju ke kamar mandi. Misalnya, hanya sekedar untuk mengambil sesuatu yang tertinggal di kamar mandi. (2) Dimanakah kedudukan shaf wanita yang paling afdhal dalam masjid yang tidak memasang tabir (hijab)?

Untuk pertanyaan pertama, termasuk dari adab bila kita masuk ke kamar mandi, adalah menanggalkan segala sesuatu yang terdapat padanya asma (nama) Allah, terlebih dengan mushaf (al-Quran). Dalam sebuah hadits disebutkan, dari Anas bin Malik ra, ia bercerita: “Apabila nabi SAW memasuki tempat buang air besar, beliau selalu menanggalkan cincinnya”. (HR al-Khamsah kecuali Ahmad).

Hadits ini dishahihkan oleh Imam at-Tirmidzi dan dibenarkan pula bahwa ukiran pada cincin beliau itu bertuliskan “Muhammad Rasulullah”. Demikian pula dengan buku-buku yang terdapat di dalamnya nama Allah. Juga tidak dibedakan letaknya di saku atau di tas, dan masuk ke dalamnya sebentar atau lama.

Untuk pertanyaan kedua, hadits yang berbicara tentang hal tersebut adalah sabda Nabi SAW: “Sebaik-baik shaf bagi laki-laki adalah shaf yang pertama, dan sebaik-baik shaf bagi wanita adalah yang paling akhir, dan yang paling buruk adalah yang paling depan”. (HR Muslim)

Imam an-Nawawi menyebutkan dalam syarah Muslim, bahwa bagi (jamaah) laki-laki maka hadits tersebut harus difahami apa adanya, yaitu shaf paling baik adalah yang paling awal dan yang paling buruk adalah yang paling akhir. Sedangkan bagi wanita, sebagaimana ungkapan syaikh Muhammad bin Ibrahim ketika ditanya tentang ucapan yang menyebutkan, bahwa keutamaan shaf wanita kebalikan dari shaf laki-laki, beliau menjelaskan bahwa hal itu berlaku jika kaum wanita melakukan shalat bersama-sama kaum laki-laki. Sedangkan jika mereka shalat sesama kaum wanita, maka shaf bagian awal adalah yang paling baik, setelah itu yang kedua dan seterusnya. Keutamaan ini juga berlaku jika mereka shalat dengan diimami oleh laki-laki selama dalam pelaksanaannya tidak mengandung sesutau yang dibenci atau yang merusak shalat.

Maka, jika pembatas (sater, tabir, hijab) tersebut bisa melindungi mereka dari rusaknya suasana dan timbulnya fitnah, sehingga bisa tercipta kondisi sebagaimana jika kaum wanita tersebut shalat bersama mereka, maka shaf paling utama adalah yang paling awal. Adapun jika pembatas itu tidak bisa berfungsi sebagaimana fungsinya sehingga diantara mereka tidak aman dari fitnah, maka shaf akhirlah yang paling utama. Wallahu’alam.

(Lihat: Syarah Muslim 4/133, dan Tuhfadhul Ahwadzi 2/15)

Sumber: majalah ar-Risalah no 56 tahun V Muharram 1427 hal 26-27.

Tinggalkan komentar